Minggu, 10 Oktober 2010

BANGUN PAGI

“Tiiin.....tiin....” bising sekali suara klakson mobil bersahut sahutan. Keringat semakin banyak membasahi wajah dan kemejaku. Bukan hanya karena panasnya udara di dalam metro mini yang penuh sesak dijejali penumpang tetapi juga karena aku sedang dilanda kecemasan tingkat tinggi. Hari ini aku mendapat panggilan kerja dan akan menjalani serangkaian tes seleksi calon pegawai. “Aku harus mendapatkan pekerjaan ini” aku mengingatkan diriku sendiri sembari menyeka mukaku yang dibanjiri peluh dengan sapu tangan ku. Jarang-jarang aku mendapat kesempatan mengikuti tes seleksi karyawan, sebagian besar aplikasi yang aku masukkan tidak pernah mendapat jawaban dari perusahaan. Karena itu aku harus benar-benar memanfaatkan peluang ini, terlebih lagi, perusahaan yang memanggilku ini adalah sebuah perusahaan besar yang tentu saja sangat baik untuk masa depanku dan keluargaku. Aku harus menempuh perjalanan jauh dari rumahku di timur Jakarta menuju kantor tersebut di bilangan Jakarta Selatan. Dalam waktu normal aku bisa menempuhnya dalam waktu 1,5 jam saja, tetapi apakah aku bisa sampai di sana tepat waktu jika aku sudah terjabak macet yang separah ini? Harusnya aku bisa menghindari kemacetan ini jika aku tadi berangkat lebih pagi dari rumah. Tidak mengapa jika aku harus tiba di sana lebih awal dan menunggu sendirian di sebuah tempat asing dari pada aku telat dan bisa menghancurkan semua harapan ini. Bukan hanya harapanku, tetapi juga harapan keluarga ku. Jengkel sekali aku pada diriku sendiri. Kumaki-maki diriku yang tidak bisa menghargai waktu dan selalu menganggap gampang. Kenapa juga tadi pagi setelah shalat Subuh aku tidur lagi. Walaupun cuma 15 menit tetapi akibat yang ditimbulkan sungguh-sungguh sangat mengkhawatirkan. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 08.15 menit, padahal tes dimulai pada pukul sembilan dan sampai saat ini belum separuh perjalanan ku lalui. Jantungku berdegup semakin kencang dibarengi dengan semakin membanjirnya peluhku setiap kali aku melihat jam tanganku. Andaikan aku tadi tidak tidur lagi setelah shalat Subuh dan langsung mandi. “Mungkin aku tidak akan mengalami hal seperti ini” gerutu ku dalam hati dengan muka yang bersungut-sungut. Sesaat kemudian aku tersenyum getir “bukannya kamu sudah biasa seperti ini? Bukankah memang kamu selalu menganggap gampang sesuatu dan tidak pernah bisa menghargai waktu? Sudah berapa kali kamu berada dalam situasi seperti ini?” Kurebahkan badanku ke sandaran kursi metro mini yang sempit dan keras ini. Iya, ini memang salah ku, kesalahan yang terus saja berulang. Setiap aku mengalami saat-saat seperti ini aku selalu marah-marah kepada diriku sendiri dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tetapi pada kenyataannya tetap saja kejadian seperti ini berulang dan terus berulang. Aku merasa susah sekali membuang kebiasaan burukku ini walaupun aku sangat-sangat menyadari bahwa kebiasaan burukku itu banyak membawa kerugian terhadap diriku sendiri. Sampai kapan aku akan terus mengikuti dan melayani kebiasaan-kebiasaan burukku ini? Selama aku tidak bisa membuang kebiasaan-kebiasaan burukku, maka selamanya aku tidak akan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Karena kebiasaan-kebiasaan burukku akan terus dan terus menghambatku dari hari ke hari. Memang benar kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “Musuh Terbesar bagi Kita adalah Diri Kita Sendiri”. Bagaimana aku akan mengalahkan pesaing-pesaingku dalam tes nanti jika aku tidak bisa mengalahkan kebiasaan burukku? Aku memang harus bisa berubah, meskipun terlihat sepele tetapi sesungguhnya sangat berat untuk melaksanakannya. Aku harus membulatkan tekad dan niat agar aku bisa benar-benar membuang kebiasaan burukku ini. Semoga kali ini niat dan tekadku tidak hanya menjadi niat dan tekad belaka seperti sebelum-sebelumnya...Semoga...